Rabu, 06 April 2011

INDUSTRIALISASI

A.Definisi dan pengertian industri
Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.

B.Alasan Industrialisasi

Industri secara kasar dapat dibagi dua, yaitu industri jasa dan industri yang menghasilkan barang-barang. Sektor industri yang menghasilkan barang-barang adalah pertanian, pertambangan, industri pengolahan, konstruksi, air, gas dan listrik, sedangkan industri jasa yakni perdagangan, angkutan (transportasi), pemerintahan, perbankan, asuransi persewaan dan jasa-jasa lainnya. Secara umum sektor-sektor industri tadi dibagi atas sektor primer, sekunder dan tersier.

Secara ideal, proses industrialisasi bertujuan untuk perubahan struktur ekonomi sehingga terjadi penciptaan nilai tambah yang lebih tinggi dan secara ekonomis masyarakat akan lebih makmur.

Kemajuan proses industrialisasi dapat juga diukur dengan melihat jumlah kebutuhan yang berasal dari industri pengolahan. Semakin banyak jenis kebutuhan manusia dalam lingkungan tertentu dipenuhi oleh hasil-hasil industri pengolahan dapat juga dijadikan pertanda maju atau terlambatnya proses itu berlangsung.

Bagi Indonesia, alasan untuk melakukan industrialisasi mempunyai berbagai alasan yang kuat yaitu untuk maju. Akan tetapi ada dua hal yang penting yang perlu diperhitungkan, apakah orientasi kita ke arah pengganti impor atau ke arah promosi ekspor.

Dalam melihat perkembangan industri perlu diperhatikan apakah industri itu mempunyai kaitan ke arah hulu atau hilir.



Keuntungan Komparatif

Dalam membahas teori perdagangan internasional asumsi yang sering digunakan adalah perdagangan bebas. Itulah asumsi perdagangan bebas sebagai suatu bentuk yang ideal. Walaupun dalam dunia perdagangan internasional banyak terjadi rintangan, bukan berarti asumsi perdagangan bebas tidak berguna. Setidak-tidaknya dengan menggunakan asumsi itu, dapat dilihat penyimpangan kejadian-kejadian ekonomi yang menyimpang dari keadaan ideal. Dengan terjadinya penyimpangan-penyimpangan itu, akan dapat pula dilihat akibat-akibat positif dari kejadian itu.

Beberapa teori yang menjelaskan terjadinya perdagangan internasional adalah adanya suatu keuntungan komparatif, barang itu mampu bersaing di pasaran internasional. Dengan demikian, berlangsung perdagangan. Keunggulan itu dapat dihubungkan dengan teknologi produksi, tahap pertumbuhan produksi, pola konsumsi, dan siklus produk. Teknologi padat modal telah mulai bergeser ke teknologi padat keterampilan, yang membutuhkan investasi manusia yang semakin tinggi.

Teori Heckscher Ohlin, seperti yang diteliti oleh Leontief di AS tidak tepat, malahan barang-barang yang padat modal yang memasuki negara itu dan sebaliknya barang-barang dengan teknologi padat karya yang diekspor dari negara tersebut. Pola perdagangan yang diamati dalam jangka panjang, siklus produk atau pola bangau terbang banyak mendapat perhatian sejak tahun 1960-an. Namun demikian, faktor-faktor internal (dalam negeri) mempunyai pengaruh yang berarti, di samping faktor-faktor lingkungan internasional.

Berbagai rintangan terjadi, oleh karena negara-negara yang baru memasuki industrialisasi dapat memproduksi barang-barang yang dulu diimpor, telah memasuki tahap perluasan ekspor; sedangkan negara-negara yang mengekspornya dulu, telah mengalami masa mengimpor kembali. Untuk memperpanjang siklus suatu produk, peranan penelitian dan pengembangan tentunya perlu mendapat perhatian yang lebih besar.

B.Perkembangan di Indonesia

-Revolusi Industri

Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Revolusi ini dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap (dengan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar) dan ditenagai oleh mesin (terutama dalam produksi tekstil). Perkembangan peralatan mesin logam-keseluruhan pada dua dekade pertama dari abad ke-19 membuat produk mesin produksi untuk digunakan di industri lainnya.

Awal mula Revolusi Industri tidak jelas tetapi T.S. Ashton menulisnya kira-kira 1760-1830. Tidak ada titik pemisah dengan Revolusi Industri II pada sekitar tahun 1850, ketika kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan momentum dengan perkembangan kapal tenaga-uap, rel, dan kemudian di akhir abad tersebut perkembangan mesin bakar dalam dan perkembangan pembangkit tenaga listrik

Faktor yang melatar belakangi terjadinya Revolusi Industri adalah terjadinya revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke 16 dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, Rene Decartes, Galileo Galilei serta adanya pengembangan riset dan penelitian dengan pendirian lembaga riset seperti The Royal Improving Knowledge, The Royal Society of England, dan The French Academy of Science. Adapula faktor dari dalam seperti ketahanan politik dalam negeri, perkembangan kegiatan wiraswasta, jajahan Inggris yang luas dan kaya akan sumber daya alam.

Efek budayanya menyebar ke seluruh Eropa Barat dan Amerika Utara, kemudian memengaruhi seluruh dunia. Efek dari perubahan ini di masyarakat sangat besar dan seringkali dibandingkan dengan revolusi kebudayaan pada masa Neolitikum ketika pertanian mulai dilakukan dan membentuk peradaban, menggantikan kehidupan nomadik.

Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-Auguste Blanqui di pertengahan abad ke-19.

Dampak SosialBuruh anak banyak ditemukan pada masa Revolusi Industri, walaupun sebelum masa Revolusi Industri telah berkembang. Anak - anak dipaksa bekerja dengan gaji yang kecil dan pendidikan yang minim. Beberapa jenis kekerasan juga terjadi di tambang batu bara dan industri tekstil. Kejadian ini terus terjadi hingga terbentuknya undang - undang pabrik Factory Acts di tahun 1833 dan 1844 yang melarang anak dibawah 9 tahun untuk bekerja, anak dilarang bekerja pada malam hari dan jam kerja 12 jam per hari untuk anak dibawah 18 tahun.

Tempat tinggal pada masa Revolusi Industri beraneka ragam dari kondisi rumah yang sangat baik dan pemilik yang makmur hingga perumahan sempit di daerah perkumuhan. Rumah kumuh ini menggunakan toilet bersama serta keadaan lingkungan yang kurang bersih. Berbagai macam penyakit juga kerap terjadi seperti wabah kolera, cacar air.

C.Permasalahan Industrial

Pendahuluan

Organisasi perburuhan Internasional ILO mengemukakan studi pengalaman Indonesia oleh Patriek Quinn, 2003 tentang kebebasan berserikat dan perundingan bersama pokok permasalahan dalam Hubungan Industrial. Sistem Hubungan Industrial Indonesia terdiri dari sejumlah elemen yang meliputi kerangka hukum,peran dan sikap mitra sosial dan maraknya budaya.
Hal – hal ini meliputi kerangka hukum. Peran dan sikap mitra sosial dan budaya, adat istiadat dan praktik yang umum dimasyarakat, yaitu bagaimana kebiasaan yang berlaku dalam menangani hubungan industrial dan isu – isu mana yang lazimnya menjadi pokok perundingan antara pekerja dan perngusaha. Bagian ini mengkaji beberapa isu penting dalam diskusi hubungan industrial, kecenderungan dalam perselisihan industrial, isu – isu yang menyebabkan atau memicu perselisihan dan langkah – langkah apa yang dapat diambil untuk meningkatkan hubungan industrial.

Faktor Pengaruh Hubungan Industrial

Sistem remunerasi atau pemberian imbalan suatu perusahaan memberikan pengaruh kuat dalam hubungan industrial. Komponen upah buruh biasanya terdiri dari upah pokok dan berbagai tunjangan dikurangi sejumlah potongan. Komponen upah buruh dapat meliputi komponen – komponen yang ditujukan dalam table 1. Faktor yang mempengaruhi adalah jaminan untuk dapat terus bekerja, apakah status pekerja lemah atau wajar cukup aman. Sering kali tingkat imbalan tunjangan dikaitkan dengan status pekerjaan. Buruh dewasa ini dipekerjakan berdasarkan kontrak, tidak menjamin kelangsungan pekerjaan.

Banyak perusahaan umumnya menggunakan empat sistem pembayaran yang berbeda : status sebagai pekerja harian lepas, status sebagai pekerja dengan upah per potong / satuan hasil atau status sebagai pekerja kontrak, status sebagai pekerja tetap harian dan status sebagai pekerja tetap. Dari katagori tesebut di atas hanya status sebagai pekerja tetap yang memberikan jaminan kerja yang secara hukum bersifat mengikat. Dari temuan diketahui bahwa dua pertiga dari buruh tersebut dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja yang tidak memberikan kepastian untuk dapat terus bekerja, yang menyebabkan mereka dapat dengan mudah diberhentikan dan banyak pekerja tidak menerima upah kalau sakit atau tidak masuk karena alasan apapun.

Perspektif hubungan industrial, hubungan kerja mempunyai dua elemen yang diharapkan mengarah pada situasi tawar menawar yang rumit. Elemen pertama adalah sistem imbalan yang relative kompleks dengan banyak variable tunjangan yang masing – masing mempunyai potensi menjadi sumber perselisihan. Eleman yang kedua adalah banyak pekerja berdasarkan kontrak kerja yang tidak memberikan kepastian untuk dapat terus bekerja.

Masalah normatif dan non normatif

Masalah normatif yang ditetapkan undang – undang sebagai standar upah minimum dan libur tahunan dan standar lain yang disepakati yang terutama dalam perjanjian kerja bersama. Masalah non normatif menyangkut yang tidak memiliki standar hukum secara langsung atau berkaitan dengan upaya memperbaiki ketentuan dalam standar yang telah ditetapkan

Upah Minimum

Upah minimum di indonesia diperkenalkan tahun 1996, peran upah minimum semakin penting. Hingga tahun 2000, tingkat upah minimum ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja untuk tiap propinsi di Indonesia. Dengan diberlakukannya otonomi daerah mulai tahun 2000, tanggung jawab penetapan upah minimum terletak di pundak Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten.

Untuk menetapkan upah minimum, dibentuk dewan pengupahan yang beranggotakan wakil – wakil dari pemerintah setempat, Kantor Dinas Propinsi dari unit terkait, Serikat Pekerja, Pengusaha dan Akademisi. Dewan berfungsi melakukan survey dan menghitung biaya pokok kebutuhan hidup. Survey tersebut mengkaji harga dari sejumlah bahan pokok di daerah sekitar, menghitung kemampuan perusahaan dalam membayar kenaikan upah minimum dan mengusulkan angka untuk upah minimum dengan mempertimbangkan informasi yang diperoleh, biaya inflasi dan faktor – faktor lainnya.

Proposal untuk menyesuaikan upah minimum diajukan kepada Gubernur atau Bupati setempat untuk mendapatkan otorisasi atau pengesahan. Upah minimum biasanya ditetapkan untuk jangka waktu dua belas bulan dan ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum seorang pekerja lajang. Selain itu juga terdapat upah – upah minimum untuk sektor lapangan kerja tertentu. Pengusaha yang merasa tidak sanggup membayar upah minimum dapat meminta dispensasi untuk kemudian instansi terkait menyelidiki situasi keuangan perusahaan tersebut sebelum mengambil keputusan.

Perdebatan tentang proses upah minimum kemungkinan akan berlanjut terutama penting akibat adanya kapasitas kelembagaan yang mendukung perundingan bersama. Beberapa berpendapat bahwa ketika organisasi serikat pekerja memperoleh kekuatan dan lebih terlibat dalam negosiasi tingkat upah ditingkat perusahaan dan industri, peran pemerintah semestinya sudah tidak diperlukan lagi.

Hal ini menjadi kesempatan bagi pemerintah membuka diskusi tentang upah minimum supaya terjadi dialog pilihan kebijakan dan mengembangkan konsensus antara pekerja dan pengusaha. Setiap upaya mengurangi ketergantungan pada upah minimum akan membuat perhatian menjadi terfokus pada kebutuhan memperkuat ruang lingkup dan mutu perundingan bersama.

Pemutusan Hubungan Kerja

Sebagaian besar P4D dan P4P selama ini tersita untuk menangani perselisihan akibat PHK. Pada tahun 2001 ada 2078 kasus yang ditangani oleh P4P dan semua kasus tersebut, kecuali 84 diantaranya menyangkut Pemutusan Hubungan Kerja Masal, sehingga banyak kasus PHK yang individual maupun massal mengakibatkan penundaan cukup lama. Argumentasi ketentuan PHK yang ada sekarang sangat rumit, menyita waktu dan tidak sesuai dengan cara kerja perekonomian modern sehingga perusahaan lebih suka mempekerjakan karyawan untuk jangka tertentu saja atau berdasarkan kontrak kerja.

Studi ILO mengemukakan bahwa pekerja yang dilakukan oleh 60 % pekerja sektor formal merupakan kombinasi dari perkerjaan harian permanent, pekerja yang dibayar per satuan hasil dan pekerjaan kontrak harian lepas. Kontrak kerja ini tidak memberikan jaminan pekerjaan maupun otorisasi P4D/P4P. Mayoritas pekerja manufaktur dapat diberhentikan melalui pemberitahuan yang diberikan sehingga serikat pekerja sangat kuatir meningkatnya praktek mempekerjakan karyawan berdasarkan kontrak kerja dan bentuk – bentuk lain yang tidak memberikan jaminan untuk dapat terus bekerja.

Undang – undang ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 tidak memberikan ide baru yang signifikan dimana hanya menyebutkan pengusaha harus melakukan segala usaha untuk mencegah terjadinya PHK. Apabila segala upaya sudah dilakukan tetapi PHK tetap harus dijalankan, maka untuk melakukan PHK tersebut harus dinegosiasikan dengan serikat pekerja atau dengan pekerja.

Uang Pesangon

Pembayaran uang pesangon menimbulkan perbedaan pendapat antara serikat pekerja dan pengusaha. Sebagaimana Keputusan Menteri No, 150 tahun 2000 tentang penyelesaian pembayaran uang pesangon, Bonus dan Uang Penggantian di Perusahaan. Pengusaha terutama merasa sangat tidak puas dengan ketentuan – ketentuan mengenai pembayaran uang pesangon dan manfaat lainnya kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau melakukan pelanggaran berat. Kontroversi ini diikuti oleh pengusaha dengan gigih menentang ketentuan tersebut, sehingga melakukan perubahan terhadap beberapa pasal yang dituangkan melalui Keputusan Menteri No. 78 tahun 2001 dan Keputusan Menteri No. 111 Tahun 2001. Keputusan ini memicu protes besar – besaran oleh organisasi pekerja yang berusaha melakukan tekanan supaya Undang – Undang No. 150 tahun 2000, sepenuhnya dilaksanakan. Serikat Pekerja memberi kan argumentasi semacam tameng bagi anggota serikat pekerja karena tidak adanya sistem yang memberikan tunjangan terhadap pengangguran.

Dalam situasi yang membingungkan akhirnya mendorong pemerintah untuk kembali menggunakan Keputusan No, 150 tahun 2000. Dalam undang – undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, Pemutusan Hubungan Kerja pengusaha diwajibkan membayar pekerja pada tingkat tertentu yang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian Hak yang seharusnya diterima dan dihitung berdasarkan lamanya masa kerja. Tetapi pengusaha tidak wajib memenuhi syarat ini bila pekerja tersebut diberhentikan pada saat berakhirnya kontrak kerja untuk jangka waktu tertentu dengan perusahaan yang bersangkutan.

Kontrak Kerja

Disektor formal terdapat sekitar 60 % pekerja yang dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja yang tidak memberikan jaminan untuk terus bekerja, sehingga tidak akan memperoleh kompensasi berupa uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja pada saat terjadinya PHK. Secara umum, pekerja kontrak hanya dibayar untuk setiap hari masuk kerja dan tidak berhak atas sejumlah tunjangan yang dapat diharapkan oleh pekerja tetap yang dibayar bulanan. Termasuk perlindungan dari Jamsostek. Untuk pension dan asuransi kecelakaan. Dewasa ini semakin banyak perusahaan mempekerjakan karyawan secara harian, berdasarkan kontrak untuk tertentu atau mensubkontrakkan pekerjaan ke badan pemasok tenaga kerja. Dengan latar belakang ini pertanyaan tentang status pekerja sering kali diajukan oleh serikat pekerja sewaktu negosiasi dilakukan dan hal ini dapat menjadi penyebab perselisihan.

Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Jamsostek )

Program jaminan sosial tenaga kerja ( Jamsostek ) dibentuk pada tahun 1992 yang berupaya melindungi pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dan memberikan tunjangan pada saat sakit, meninggal dunia, atau usia tua (pensiun). Ketentuan ini wajib diikuti oleh seluruh perusahaan yang mempekerjakan 10 orang pekerja atau lebih. Tetapi banyak pengusaha tidak mendaftar pada Jamsostek. Bahkan ada pengusaha yang membayar iurang kurang dari semestinya atau tidak membayar iuran Jamsostek untuk semua pekerja sehingga mengakibatkan masalah ketika pekerja akan menarik dana. Secara umum ketidakpuasan dengan administrasi Jamsostek dan manfaat yang diberikan sering kali muncul dan menimbulkan pembahasan kemungkinan dibuatnya undang – undang baru tentang Jaminan Sosial.

Isu – isu Non Normatif.

Dalam kaitannya dengan isu non normatif yang paling sering dipersoalkan adalah kenaikan gaji / bonus, diikuti oleh tunjangan makan, pembayaran insentif/kesejahteraan dan tunjangan transportasi. Catatan statistic menunjukan jumlah perselisihan mengenai tunjangan makan dan transportasi bila digabungkan hampir sama banyaknya dengan jumlah perselisihan mengenai kenaikan gaji pokok/pembayaran bonus.
Selain itu jumlah perselisihan mengenai uang makan dan transport, pembayaran bonus, uang kehadiran, catering (penyedia makan karyawan), perawatan medis, insentif/kesejahteraan dan tunjangan shift lebih dari dua kali lipat jumlahnya dari perselisihan mengenai elemen upah pokok, kenyataan ini menunjukan bahwa serikat pekerja dan pekerja telah terbiasa dengan elemen pokok upah yang ditentukan melalui penetapan upah minimum sehingga menfokuskan negosiasi pada elemen – elemen lain dari paket upah.

Meskipun pembayaran – pembayaran non normatif ini dapat menimbulkan kerumitan.Pengusaha pada umum nya mempertahankan pembayaran – pembayaran ini secara terpisah. Alasanya bermacam – macam. Mungkin akan lebih mahal bila pembayaran tersebut disatukan dengan upah pokok yang digunakan sebagai dasar perhitungan untuk upah lembur, hari libur, iuran Jamsostek dan lain nya. Alasan lainnya bila pembayaran tampaknya memang relatif cukup rumit dan memicu banyak nya perselisihan. Tidak mustahil bila dimasa yang akan dating pemerintah meninjau kembali sistem pembayaran tersebut dan mencari pilihan kemungkinan mereformasi sistem tersebut

Tanggung jawab social Perusahaan dan Kode Perilaku

Sejumlah perusahaan multinasional dengan kontraktor Indonesia sekarang menerapkan kode perilaku (codes of conduct ) atau standar – standar lainnya terhadap kontraktor – kontraktor mereka yang beroperasi di Indonesia. Seluruh kode perilaku yang diketahui di Indonesia berasal dari perusahaan – perusahaan yang berbasis di Amerika atau Eropa dan banyak dari Perusahaan – perusahaan yang mempunyai kode perilaku beroperasi disektor tekstil dan sepatu olah raga. Perusahaan – perusahaan tersebut memperaktekan sejumlah cara untuk memonitor pelaksanaan kode perilaku yang mereka tetapkan dan sering kali mempekerjakan organisasi – organisasi setempat untuk secara berkala mengunjungi tempat – tempat kerja guna melakukan penilaian terhadap cara – cara kode tersebut diterapkan.

Dari berbagai studi dilaporkan bahwa kontraktor perusahaan yang mempunyai kode praktik mempunyai cirri khas membayar di atas upah minimum dan dapat diharapkan mematuhi undang – undang ketenagakerjaan. Beberapa pengusaha besar yang menjalankan kode praktik juga mengatakan bahwa kode tersebut memperkuat mekanisme kepatuhan dan bahwa mereka dapat menunjuk pada bukti dimana kontraktor diwajibkan mengatasi masalah – masalah yang teridentifikasi sewaktu pemantauan ditempat kerja. Biasanya setelah penilaian awal dilakukan. Kontraktor akan diberi daftar bidang – bidang yang perlu diperbaiki. Pemantauan yang kemudian dilakukan sebagai upaya tindak lanjut biasanya berusaha mengukur kemajuan yang diperoleh dan dalam beberapa hal, hasil – hasil pemantauan yang dilakukan dipublikasikan secara internasional.

Dalam tahun – tahun terakhir ini, beberapa perusahaan multinasional berusaha melakukan pendekatan kepada kantor ILO – Jakarta. Perusahaan – perusahaan tersebut berharap dapat bekerja sama dengan kontraktor – kontraktor lokal mengenai isu – isu yang berkaitan dengan kode perilaku. Kadang perusahaan tersebut meminta nasehat mengenai organisasi local atau nara sumber yang memungkinkan akan mereka ajak kerja sama, dan kadang mereka berusaha mendapatkan masukan dari ILO dan mencoba menanggapi permintaan – permintaan itu secara praktis dan positif. Dengan tetap mengingat dinamika hubungan industrial di perusahaan yang kadang – kadang bersifat sensitif.

Sebagaimana elemen hubungan industrial yang mencakup kerangka hokum, peran dan sikap mitra social dan adat budaya dan kebiasaan terlihat bahwa permasalahan yang berpengaruh tidak hanya yang bersifat normatif tetapi meluas ke yang non normatif. Kondisi ini memerlukan arahankebijakan yang utuh dan terpadu guna implementasi yang dapat dikembangkan perusahaan. Selama kebijakan yang ada hanya terarah pada permasalahan normatif memungkinkan maraknya perselisihan hubungan industrial yang berkesinambungan.