Kamis, 24 Maret 2011

Sektor Pertanian dan Struktur Perekonomian Indonesia

Pembahasan

Struktur perekonomian Indonesia merupakan topik strategis yang sampai sekarang masih menjadi topik sentral dalam berbagai diskusi di ruang publik. Kita sudah sering mendiskusikan topik ini jauh sebelum era reformasi tahun 1998. Gagasan mengenai langkah-langkah perekonomian Indonesia menuju era industrialisasi, dengan mempertimbangkan usaha mempersempit jurang ketimpangan sosial dan pemberdayaan daerah, sehingga terjadi pemerataan kesejahteraan kiranya perlu kita evaluasi kembali sesuai dengan konteks kekinian dan tantangan perekonomian Indonesia di era globalisasi.

Tantangan perekonomian di era globalisasi ini masih sama dengan era sebelumnya, yaitu bagaimana subjek dari perekonomian Indonesia, yaitu penduduk Indonesia sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sekarang ada 235 juta penduduk yang tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dan daerah, sehingga arah perekonomian Indonesia masa itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Berdasarkan pertimbangan ini, maka sektor pertanian menjadi sektor penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka kita mulai mencanangkan masa depan Indonesia menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian kita juga semakin kuat.
Seiring dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita menghadapi berbagai permasalahan. Di sektor pertanian kita mengalami permasalahan dalam meningkatkan jumlah produksi pangan, terutama di wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bertani. Perkembangan penduduk yang semakin besar membuat kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung kehidupan masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat pertanian beririgasi teknis semakin berkurang.

Selain berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian per hektare juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari produktivitas ini adalah karena pasokan air yang mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung serta saluran irigasi yang ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi dengan siklus cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin mengurangi pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan pertanian.

Sesuai dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Di kemudian hari kita mungkin saja akan semakin bergantung dengan impor pangan dari luar negeri. Impor memang dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam dan Thailand. Namun, kita juga perlu mencermati bagaimana arah ke depan struktur perekonomian Indonesia, dan bagaimana struktur tenaga kerja yang akan terbentuk berdasarkan arah masa depan struktur perekonomian Indonesia.

Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.

Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi.

Data ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan.

Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik.

Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.

Struktur perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia.

Saat ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat sekarang ini.

Pendahuluan

Memasuki akhir dekade 1990-an Indonesia mengalami perubahan sosial politik yang bermuara kepada pilihan melaksanakan desentralisasi sebagai salah satu modautama pembangunan Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemberlakuan UU 22/1999tentang Otonomi Daerah yang kemudian dirubah menjadi UU 32/2004. RencanaPembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menempatkanrevitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah ini sebagai satu prioritas dalampembangunan nasional. Revitalisasi tersebut diarahkan untuk: (1) memperjelaspembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan; (2) mendorong kerjasama antarpemerintah daerah; (3) menata kelembagaan pemerintah daerah agar lebih efektif danefisien; (4) meningkatkan kualitas aparatur pemerintah daerah; (5) meningkatkankapasitas keuangan pemerintah daerah; serta (6) menata daerah otonom baru (DOB).Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya bermuara kepada keinginandaerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam PP 129/2000 tentangPersyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan PenggabunganDaerah. Dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatiandibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerahberhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhisyarat teknis, administratif, dan fisik

dengan tujuan untuk mensejahterakanmasyarakat yang ada di wilayahnya.Pemekaran daerah dalam tatanan filosofis dimaksudkan untuk meningkatkankesejahteraan masyarakat (pasal 2 PP 129/2000). Argumentasi untuk ini didasarkanatas beberapa dimensi. Pemekaran akan mempersingkat rentang kendali antarapemerintah dan masyarakat, khususnya pada wilayah-wilayah yang belum terjangkauoleh fasilitas pemerintahan. Pemekaran daerah juga diaspirasikan untuk memperbaikipemerataan pembangunan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, daerah-daerah yangterbangun hanya daerah yang berdekatan dengan ibukota pemerintahan daerah.Pemekaran memungkinkan sumber daya mengalir ke daerah yang masih belumberkembang. Alasan lainnya yang juga dikemukakan adalah bahwa pemekaran akanmengembangkan demokrasi lokal melalui pembagian kekuasaan pada tingkat yang lebihkecil (Ida 2005).Pemekaran daerah menghasilkan tren baru dalam struktur kewilayahan diIndonesia. Perkembangan jumlah kabupaten/kota dan propinsi di Indonesia dapatdilihat pada Gambar 1.1 di bawah. Hingga tahun 2004, terjadi penambahan pemerintahpropinsi dari 26 menjadi 33 (26,9 %) dan pemerintah kabupaten/kota dari 303 menjadi440 (45,2%). Pada tahun 2005 pemerintah pusat untuk sementara waktumenangguhkan pemekaran daerah, namun hingga akhir tahun 2006 gejolak usulanpemekaran daerah terus berlanjut. Terdapat usulan pembentukan 114 kabupaten/kotaserta 21 propinsi. Kebijakan penangguhan sementara pemekaran daerah selama 2005-2006 sulit bertahan mengingat hingga saat ini belum ada dasar yang kuat untuk itu,meskipun Depdagri menilai bahwa perkembangan daerah otonom baru (DOB) belumoptimal karena berbagai permasalahan atau hambatan yang dihadapi (Depdagri 2005).Di samping itu, belum adanya kebijakan pemerintah mengenai pembatasan jumlah

daerah juga mendorong daerah terus mengajukan pemekaran daerah. Dengan desakanyang kuat dari daerah maka pada tahun 2007 terjadi lagi tambahan jurisdiksi daerah diIndonesia.

Jumlah Kabupaten/Kota dan Propinsi, 1999-2006

26 2630 30 3032 3233303326341416440440354376

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Jumlah propinsiJumlah kabupaten/kota

Dampak Pemekaran Daerah

Studi dampak pemekaran daerah secara komprehensif belum pernah dilakukan.Namun demikian, beberapa studi telah mulai melihat secara parsial apa yang terjadi dibeberapa daerah otonom baru. Bappenas (2005) telah menghasilkan Kajian PercepatanPembangunan Daerah Otonom Baru (DOB). Kajian ini secara khusus mempelajaripermasalahan yang terkait pembangunan daerah otonom baru dan sektor yang menjadiandalan dalam pengembangan ekonomi. Wilayah yang menjadi lokasi kajian yakniKabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Barat), Kabupaten Sekadau (Kalimantan Barat),Kota Tomohon (Sulawesi Utara), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB) dan KotaTasikmalaya (Jawa Barat).Studi tersebut menyimpulkan bahwa pada aspek keuangan daerah, telah terjadipeningkatan pendapatan asli daerah meskipun pada umumnya ketergantunganterhadap Dana Alokasi Umum masih tinggi. Di samping itu, juga terjadi peningkatanpada proporsi belanja pembangunan meskipun proporsi terhadap belanja rutin masihkecil. Namun demikian penilaian responden masyarakat menunjukkan belum adanyaperubahan antara sebelum dan sesudah pemekaran. Hal ini dikarenakan karena pemdaDOB tengah melakukan pembenahan kelembagaan, infrastruktur kelembagaan,personil dan keuangan daerahnya. Sedangkan pada aspek pengelolaan sumberdayaaparatur menunjukkan bahwa rasio jumlah aparatur terhadap total penduduk DOBmasih dibawah rata-rata nasional meskipun untuk beberapa daerah sampel tidak terjadihubungan yang signifikan antara jumlah aparatur dan kepuasan pelayanan publik. Studiini juga mencatat umumnya kualitas SDM aparatur untuk lini terdepan pelayananmasyarakat memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah (setingkat SMU).Selain Bappenas, Lembaga Administrasi Negara (2005) juga melakukan EvaluasiKinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk periode 1999-2003 (LAN 2005). Fokusevaluasi terdiri dari kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan kehidupandemokrasi lokal. Dengan mengambil 136 kabupaten/kota studi ini dimaksudkan untuk mengetahui kinerja daerah serta mengetahui masalah dan kendala dalam

penyelenggaraan otonomi daerah. Temuan studi ini secara umum menunjukkan bahwauntuk aspek kesejahteraan masyarakat, khususnya indikator ekonomi dan sosial secaraumum mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap terjadi kesenjangan antarawilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Salah satu yang dilihatadalah indeks pembangunan manusia.Pada aspek pelayanan publik, khususnya infrastruktur dasar ditemukan bahwarasio panjang jalan keseluruhan dengan luas wilayah mengalami penurunan. Sedangkanpada pelayanan bidang kesehatan dan pendidikan mengalami peningkatan yang cukupberarti. Kemudian, pada demokrasi lokal yang dilihat dari penggunaan hak pemilihpada pemilu menunjukkan angka partisipasi yang cukup tinggi. Meski secarakeseluruhan studi ini tidak secara langsung berkaitan dengan daerah pemekaran namunsecara umum daerah induk, daerah DOB dan daerah yang tidak mekar menunjukkangejala yang hampir sama.Departemen Dalam Negeri (2005), khususnya Pusat Litbang Otonomi Daerahmelakukan penelitian dengan judul Efektifitas Pemekaran Wilayah Di Era OtonomiDaerah. Penelitian di 9 daerah otonom baru ini menyimpulkan bahwa secara umumtidak ada satupun daerah DOB yang berada dalam kategori mampu meski penataanberbagai aspek pemerintahan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan telahsesuai dengan pedoman yang ada. Persoalan mendasarnya ialah karena DOB kurangmampu merumuskan dengan tepat kewenangan ataupun urusan yang akandilaksanakan sesuai dengn kondisi dan karakteristik daerah serta kebutuhanmasyarakat.Studi ini juga menyoroti pada sisi kelembagaan di mana kelembagaan yangterbentuk belum sepenuhnya disesuaikan dengan urusan yang telah ditetapkan sebagaiurusan daerah. Beberapa masalah yang terkait dengan kelembagaan diantaranya yaknijumlah kelembagaan (SKPD) yang cenderung banyak, struktur organisasi yangcenderung besar, serta belum memperhitungkan kriteria efektivitas dan efesiensikelembagaan yang baik. Pada aspek keuangan daerah, hanya satu dari sembilan daerahyang dikategorikan mampu dalam pengelolaan keuangannya. Problem utamanya yaknirendahnya kemampuan dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah,khususnya PAD. Sedangkan pada aspek aparatur, hanya satu dari sembilan daerah yangdikategorikan sangat mampu dalam pengelolaan pemerintahannya. Hal ini dilihatketersediaan, kualifikasi yang dimiliki, serta kesesuaian antara personil yang mengisidan struktur yang tersedia. Umumnya DOB belum mampu menyelesaikan persoalan diatas.

Pentingnya Evaluasi & Tujuan Studi

Menegaskanbahwa pemekaran membuka peluang untuk terjadinya

bureaucratic and political rent-seeking

, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pemekaran wilayah,baik dana dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Di sisi lain,sebagai sebuah daerah otonom baru, pemerintah daerah dituntut untuk menunjukkankemampuannya menggali potensi daerah. Hal ini bermuara kepada upaya peningkatanPendapatan Asli Daerah (PAD) yang pada gilirannya menghasilkan suatu perekonomiandaerah berbiaya tinggi. Pemekaran juga dianggap sebagai bisnis kelompok elit di daerahyang menginginkan jabatan dan posisi. Eforia demokrasi juga mendukung. Partaipolitik, yang memang sedang tumbuh, menjadi kendaraan kelompok elit inimenyuarakan aspirasinya, termasuk untuk mendorong pemekaran daerah.RPJMN 2004-2009 mengamanatkan adanya program penataan daerah otonombaru (DOB). Program ini ditujukan untuk menata dan melaksanakan kebijakanpembentukan DOB sehingga pembentukan DOB tidak memberikan beban bagi

keuangan negara dalam kerangka upaya meningkatkan pelayanan masyarakat danpercepatan pembangunan wilayah. Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain adalah:1.

Pelaksanaan evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru dalammemberikan pelayanan kepada masyarakat

Pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru dan atau penggabungandaerah otonom, termasuk perumusan kebijakan dan pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayahselain melalui pembentukan daerah otonom baru

Penyelesaian status kepemilikan dan pemanfaatan aset daerah secara optimal

Penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru.Evaluasi yang dimaksud sangat terkait dengan kemampuan daerah dalampenyelenggaraan otonomi daerah. Apabila setelah lima tahun setelah pemberiankesempatan memperbaiki kinerja dan mengembangkan potensinya dan hasilnya tidak tercapai maka daerah yang bersangkutan dihapus dan digabungkan dengan daerah lain

Harapannya melalui evaluasi maka terdapat gambaran secaraumum kondisi DOB hasil pemekaran sehingga dapat dijadikan bahan kebijakan yangcukup kuat dalam penentuan arah kebijakan pemekaran daerah ke depan, termasuk penggabungan daerah.Dengan seluruh uraian di atas, maka studi ini didesain untuk memenuhibeberapa tujuan, yaitu:(i) mengidentifikasi fokus dan indikator evaluasi pemekaran daerah;(ii) mengevaluasi perkembangan pemekaran daerah dalam aspek ekonomi, keuanganpemerintah, pelayanan publik dan aparatur pemerintahan serta dampaknyaterhadap kesejahteraan masyarakat;(iii) mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi dalam masa pemekaran daerah,khususnya dalam aspek ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik danaparatur pemerintahan; dan(iv) merumuskan rekomendasi kebijakan berkaitan dengan pemekaran daerah.

Sistematika Penulisan

Laporan studi ini dibagi ke dalam empat bab. Sebagai pendahuluan, bab Imenguraikan latar belakang dan arti penting studi evaluasi pemekaran daerah. Bab IIyang akan disajikan berikutnya akan menguraikan konsep evaluasi dan desain studi. Dibab ini akan diuraikan fokus evaluasi dan indikator yang menjadi konsekuensinya. Jugaakan diuraikan metodologi pengambilan sampel studi. Bab III akan menguraikanevaluasi kinerja daerah pemekaran. Bab ini dibagi menjadi empat bagian sesuai denganempat fokus kajian, yaitu (a) perekonomian daerah, (b) keuangan daerah, (c) pelayananpublik serta (d) aparatur pemerintah daerah. Bab IV akan menjadi bab penutup yangberisikan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan

Kesimpulan

Studi ini telah menyajikan evaluasi terhadap pemekaran kabupaten yang telahberlangsung di Indonesia sejak tahun 2000. Dengan menggunakan metode control-treatment, studi ini telah membandingkan kinerja pembangunan daerah otonom baru,daerah induk, dan daerah kontrol. Empat aspek utama yang mendapat perhatian dalamstudi ini adalah: (a) perekonomian daerah, (b) keuangan daerah, (c) pelayanan publik serta (d) aparatur pemerintah daerah.Secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan persepsi antarapemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal pemekaran daerah ini. Pemerintahpusat, ketika merumuskan PP 129/2000 berkeinginan untuk mencari daerah otonombaru yang memang dapat berdiri sendiri dan mandiri. Karena itu disusunlahseperangkat indikator yang pada hakekatnya berupaya mengidentifikasi kemampuancalon daerah otonom baru. Namun dari sisi yang lain, pemerintah daerah memilikipendapat yang berbeda. Pemerintah daerah melihat pemekaran daerah sebagai upayauntuk secara cepat keluar dari kondisi keterpurukan. Studi ini menemukan konfirmasitersebut. Daerah otonom baru ternyata secara umum tidak berada dalam kondisi awalyang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Bahkan evaluasisetelah lima tahun perjalanannya, daerah otonom baru juga secara umum masih dibawah kondisi daerah induk dan kontrol.Dari sisi pertumbuhan ekonomi, daerah otonom baru lebih fluktuatif ketimbangdaerah induk yang relatif stabil dan meningkat. Selain itu, pertumbuhan ekonomidaerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) lebih tinggi dari daerah-daerahkabupaten lainnya namun sayangnya pertumbuhan ekonomi daerah pemekaran lebihrendah dari daerah kontrol. Hal ini berarti walaupun daerah pemekaran telahmelakukan upaya memperbaiki perekonomian namun karena masa transisi inimembutuhkan proses maka belum semua potensi ekonomi dapat digerakkan. Sebagai

leading sector

di daerah DOB, sektor pertanian akan sangat rentan terhadap gejolak harga, baik harga komoditi maupun hal-hal lain yang secara teknis yang mempengaruhinilai tambah sektor pertanian. Oleh karena itu, kemajuan perekonomian DOB sangattergantung usaha pemerintah dan masyarakat dalam menggerakkan sektor tersebut.Porsi perekonomian daerah DOB yang lebih kecil dibandingkan daerah lain dalamperekonomian satu wilayah (propinsi) mengindikasikan bahwa secara relatif daerahDOB belum memiliki peran dalam pengembangan perekonomian regional.Meskipun terjadi pengurangan insiden kemiskinan di seluruh daerah, namunpemekaran terlihat mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB.Data menunjukkan bahwa penduduk miskin justru terbanyak di DOB. Dalam konteksyang lebih luas, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapatmengejar ketertinggalan daerah induk meski kesejahteraan DOB telah relatif samadengan daerah-daerah kabupaten lainnya. Selain itu, kesejahteraan di daerahpemekaran juga relatif lebih baik ketimbang rata-rata daerah maupun daerah kontrol.Dari sisi ekonomi, penyebab ketertinggalan daerah DOB dari pada daerah induk maupun daerah lainnya yakni keterbatasan sumberdaya alam, keterbatasan sumberdaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar